Mantar: Negeri di atas awan
Rasanya tak pernah bosan untuk
mengunjungi pulau yang satu ini. Meski terhitung jauh, kapanpun ada
tawaran singgah di sini, saya tidak mampu menolak :)) Tarif ferry Lombok
– Sumbawa masih sama yaitu IDR49.500/ motor, tanpa diberi kembalian,
hahaha. Setiba di Pototano, kami langsung bertemu dengan Comenk; teman
baru, yang akan menjadi pemandu kami. Karena hari sudah gelap, kami
bergegas menuju Ranger point yang berada di rumah keluarga
Comenk. Untuk menuju desa yang ingin kami tuju terdapat 3 cara, yaitu:
jalan kaki (jarak tempuh 2 jam untuk warga lokal), menggunakan sepeda
motor, atau sewa Ranger. Pilihan kami jatuh pada pilihan terakhir.
Kenapa? Karena dari berita yang kami dengar, tanjakan menuju puncak
cukup curam. Setelah berada di atas motor selama 12 jam Bali – Lombok –
Sumbawa, badan saya tiba-tiba ngilu dengan pilihan pertama. Juga nomor
2. Lagipula, biaya Ranger tidak mahal, karena ditanggung bersama.
(Ngeles) (Padahal karena badan menua) (Hiks)
Desa ini disebut sebagai desa di atas
awan; karena letaknya di dataran tinggi, tepatnya 600mdpl. Dan benar
saja, tanjakan selama perjalanan cukup membuat saya baca doa Bapa Kami, dan tiga kali Salam Maria.
Kami tiba di puncak kira-kira pukul 10 malam. Yang rencananya langsung
membangun tenda, namun gagal karena kami menemukan bale di tengah kebun
jagung. “Yes, tinggal gelar matras dan sleeping bag.”, kata
saya dalam hati, mungkin juga teman yang lain. Selang beberapa waktu,
gigitan mulai terasa. Tak lama, nyamuk mulai menggerayangi sekujur tubuh
kami. Kata Comenk, karena tidak ada angin, maka nyamuk keluar semua.
Alhasil sepanjang malam mata kami terpejam, dengan tangan yang tak henti
menggaruk. Beberapa teman mencoba mengatasi keadaan tersebut dengan
membuat asap dari sisa daun jagung kering. Lumayan mengurangi nyamuk.
Sesaat. Setelah itu mereka kembali lagi. Dan malam itu kami terlelap
bermandikan nyamuk, serta berbalur asap :))
Jelang pagi, desiran angin mulai terasa. Nampaknya serangan nyamuk sudah
berakhir. Mereka lenyap, meninggalkan jejak bentol-merah di badan kami
:)) Matahari mulai meninggi. Setelah berkemas, kami bergegas duduk di
tepi bukit menyaksikan guratan mentari. Melihat pemandangan seindah ini,
rasanya perjuangan kami berperang dengan nyamuk semalam terbayar. Dari
bale, kami berjalan menuju Paralayang point untuk menunggu
jemputan Ranger. Ah ya, tahun lalu desa Mantar menggelar kegiatan
paralayang tingkat internasional, dalam rangka ulang tahun Kabupaten
Sumbawa Barat. Sebelum adanya acara ini, tempat ini dikenal karena
merupakan lokasi film garapan Ari Sihasale: Serdadu Kumbang. Tak hanya
itu, desa ini juga sarat sejarah. Dari albino yang harus berjumlah 7,
hingga kehadiran Ai Mante; mata air yang telah menghidupi warga sejak
puluhan tahun silam.
Tak lama setelah makan pagi dengan pemandangan-yang-luar-biasa, Ranger
datang. Namun, kami harus menunggu 40 menit lagi karena saat itu di
puncak Mantar ada dua rombongan, sementara kami mengejar waktu menuju
destinasi lainnya. Alhasil, rasanya lebih dari 10 orang, kami duduk
bersama kelompok lain kembali menuju Seteluk. Sempit banget? Tentu,
berdesakan dengan penumpang dan keril. Tapi seru karena saat jalan
turunan, bak paduan suara – kami teriak bersama :))
Demikian persinggahan saya dan
teman-teman #melaligen di Mantar. Semoga menginspirasi kamu yang ingin
berlibur dalam waktu dekat ya! Ps: Yang mau kontak Ranger, bisa
tinggalkan pesan di kolom komentar.
d.
keren banget..>!!
ReplyDeleteapalagi pose yang menatap awan lagi berjatuhan itu, sangat luar biasa Indahnya...!!!