Mencintai Seorang Pemanah.

Ah, dingin sekali, tak seharusnya kuabaikan apa kata ibu, kataku sambil terus mendekati bibir danau. Dari kejauhan terdengar angin yang dengan cepat menembus daun melalui semak-semak. Setidaknya itu hal terakhir yang kuingat sebelum menemukan diriku terkulai berbalut kasa. Sosok berbadan tegap mendekatiku, tangannya dengan sigap mengangkat dan memberikanku air minum. Tak jauh dari tempatku, kulihat anak panah dengan ujung penuh darah. Apa aku baru saja terpanah? Apa orang ini yang menyelamatkanku?

Aku belum pernah hidup dengan orang lain selain kedua orang tuaku. Buatku, tinggal bersama pemuda ini begitu menyenangkan. Ia penuh perhatian dan sabar merawatku. Kondisiku kian membaik, namun tak kubiarkan benar-benar sembuh demi memperpanjang kebersamaan dengannya. Saat aku merintih kesakitan, pemuda ini selalu datang mengusap punggungku, dan menenangkanku. Matanya memancarkan harapan supaya aku bertahan. Bahkan kini tak sedikitpun kuingat ibu, apalagi ayah yang jarang pulang. Begitu cepat ia menggantikan posisi segala yang nyaman untukku.

Hari demi hari berlalu. Pada suatu malam, aku bernyanyi bersahutan dengan jangkrik di pekarangan belakang. Ia menyuruhku masuk dengan segera. Di sini saja, bersamaku, jangkrik itu pandai merayu kau harus berhati-hati, kau bisa menemuinya saat kulepas nanti, katanya. Namun, pada bulan purnama di minggu ketiga aku memergoki ia bercanda dengan kupu-kupu, cantik sekali warnanya, ingin kubalas untuk lekas masuk. Rasanya aku cemburu, namun semua terhenti di ujung lidah. Selalu berakhir dengan menyaksikan kebahagiaannya, dari jauh.

Suatu hari aku menyelinap keluar dari gubug dan mengikutinya berjalan hingga hutan. Aku tak pernah tahu apa yang ia lakukan di luar sana. Ia tak pernah mengijinkanku pergi, di luar terlalu kejam untukku, katanya. Ia masuk ke dalam gubug yang lain, dan keluar membawa busur serta anak panah. Busur? Anak panah? Jangan-jangan dia... Langkahku melambat, dan memperhatikannya dari balik pohon jati. Pemuda itu mulai melepaskan anak panah ke segala penjuru. Dan, hey! Bukankah itu danau terakhir yang kusinggahi? Tak lama, deru langkah mulai menyerbu kedua telingaku, empat kaki berhenti di sebelahku, mengapa kau masih di sini? lari! ia terus memburu kita, sepertinya ia mencari peliharaan baru. Aku berputar, dadaku berkecamuk, dan segera lari sekencang-kencangnya supaya tak bertumbuk mata dengannya. Selamanya.

Tiap malam kulantunkan kutuk dari bibir danau ini. Soal mengapa ia masih saja pahlawan untukku, sementara ia yang membuat luka itu. Soal mengapa ia masih saja berburu tanpa mengingat kehadiranku. Soal sekadar memelihara, dan kembali melepaskan di suatu ketika.  Soal mengapa aku begitu yakin di kehidupan sebelumnya kami adalah sepasang yang menuju senja. Soal mengapa direinkarnasi berbeda, dan diputuskan takdir bahwa kami tak bisa bersama. Rasanya dadaku bisa meledak kapan saja karena terlalu banyak menyimpan mengapa. Perlahan luka berbalut kasa ini aku buka. Kubiarkan ia sembuh seiring berjalannya masa. Tak sedikit air mata yang mengendap-endap menyusuri pipiku saat mengingat ini: aku pernah mencintai seorang pemanah. Maka, biarlah kisah ini dimakam waktu di kepalaku; seekor rusa Sambar yang pernah rela menunggu. Setidaknya aku pernah merasakan betapa aku dimiliki, meski tak akan pernah memiliki.


Jimbaran, 2014.


Comments

  1. Seperti biasa minum es teh manis, tiba-tiba jadi es teh tawar tanpa gula, emang pahit. Tapi kalau dibiasakan, pahit juga jadi biasa. :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts