Desember.


Dari tempat duduk nomor dua di belakang supir ini, aku mampu melihat hamparan sawah yang kulewati sesaat meninggalkan kotamu. Jantungku berdetak mengikuti irama jarum jam yang rasanya bergerak lebih lambat dari biasanya. Hembusan angin yang kencang seperti membaca gelisahku, kemudian menggoda dalam lambaian padi yang menguning.

Bulir air dari mendung mata yang sedari perpisahan tadi kusembunyikan, akhirnya terpelanting di pipi. Alunan Desember milik Efek Rumah Kaca mengalun mengantarku menuju kota yang kutuju. Betapa Desember membawaku menuju kita. Tentang jarak yang baru saja kita buat, tentang rindu yang harus kita hemat.

Ponselku bergetar. Terbaca nama yang selalu memenuhi kepalaku di layar.
"Sampai jumpa di waktu yang kelak kita sepakati bersama. Jaga hatimu, hati."



Aku tersenyum sembari mengusap sisa air yang menggenang di pulupuk mata. Ingin sekali rasanya memerintah waktu untuk sesaat menghentikan kewajibannya berdetak, kembali menghampirimu, dan membalas pesanmu dengan pelukan.

Diterik matahari Januari, masih tersisa hujan-hujan Desember. Dingin yang kelak kembali kuingat saat didera panas atas sikap satu sama lain yang mungkin belum kita pahami.



Kuta, 2013.

Comments

Post a Comment

Popular Posts