Rumit.


Susah tidur. Pikiran ngalor-ngidul. Kesana kemari, berlari-lari.
Tak terbayangkan berapa banyak labirin yang terbentuk akan problematika hati dan intuisi.


Berenang. Memoria kembali bersua dengan sabda. Sabda implisit yang kemudian hanya hati yang dipaksa untuk mengerti, rumit.

Waktu itu gelap pekat, jemarimu merapat. Hujaman tatapan hangat, kemudian saling memeluk dengan erat.

Matahari mengganas di peraduannya, ia tertawa melihat seisi jagad resah karena gerah. Tanpa getir kita terus menjelajah, tak peduli walau tanpa arah.

Ada pula cerita kala hujan. Waktu kita saling menggenggam – tanpa ragu hujan ditembus dan terus berjalan. Irama langkah kita sama, hanya ukuran dan balutannya yang berbeda.

Lihat! Betapa istimewanya kita, dulu.

Seisi alam raya tau, para dewa pun ikut bertanya dengan malu.

Kemudian di mana dirimu?
Masih ingin tenggelam dalam bisu? Atau masih ingin pura-pura tidak tahu?

Saya iri dengan awan, bintang, matahari, dan pelangi. Langit begitu setia hadir tanpa melihat benda apa yang akan ia temani. Ia sederhana, ia tak memilah, ia tak pernah berubah.
Sederhana. Pinta saya hanya ingin dicintai dengan sederhana, dan perlahan meraih bahagia.


PS: Saya rindu kamu yang dulu, masih pantaskah kamu untuk ditunggu?
d. 

Comments

Post a Comment

Popular Posts