Membayangkan Kita.

Suatu hari aku membayangkan kita...

Duduk berdua di beranda rumah; aku memperhatikan kau yang sibuk meniup kepulan asap yang berebut memeluk wajahmu dari cangkir kopi itu. Kau ambil surat kabar, sesekali dahimu mengernyit, juga terselip gumam tanda tak setuju pada aksara yang tersaji di dalamnya. Setelah lelah, kau mulai bertanya apa yang akan kumasak hari ini. 

Sepuluh tahun sesudahnya, kita masih di beranda yang sama. Kali ini kau memilih secangkir teh, mengingat kondisi lambungmu yang tak lagi sanggup menerima kafein. Aku menghampiri, membawa keranjang berisi bekal dan menenteng tikar. Jagoan kita memperoleh upah belajarnya; piknik di tepi danau pada akhir pekan. Aku masih ingat mimik bangga saat ia berlari ke arahmu sambil menggenggam piala.

Dua puluh tahun kemudian, di sudut beranda kegemaran kita, kau berjalan mengitari kebun. Kau memuji mawar dan bunga terompet mekar yang kutanam di dekat gerbang rumah. Kau juga bercerita soal hari-hari di kantor dan beberapa rekan yang menyebalkan. Aku menyelipkan tawa dan mengusap punggungmu, dalih meredakan nadamu yang mulai meninggi.


Empat puluh tahun berlalu, kita saling memapah menuju beranda itu. Aku dan kau duduk dikelilingi cucu sebanyak enam. Yang paling kecil duduk manja di pangkuanmu. Kau mulai mengisahkan banyak hal, aku turut mendengar sembari melanjutkan rajutan. Saat rumah kembali dihinggap sepi, kita hanya sepasang yang tak lelah mengulang cerita. Sekadar menertawakan pikun, hingga mengingat lupa.


Ah!
Aku punya banyak sekali rencana untuk menghabiskan waktu kita hingga masa senja. Jika tak keberatan, aku ingin kau merapal doa yang sama. Agar ini tak sekedar jadi bayangan, melainkan kenyataan.


Tuban, 2013.

Comments

Post a Comment

Popular Posts